HP: Terdistraksi Atau Menikmati Hidup Dengannya?

HP itu hari-hari ini tidak hanya menjadi alat komunikasi. Layaknya pakaian, tidak pegang HP sehari saja rasanya telanjang. Duduk di rumah pegang HP. Pergi kemana-mana HP tidak boleh ketinggalan. Kalau tidak pegang HP, rasanya tidak ada yang bisa dikerjakan. Kalau HP tidak dibawa saat bepergian, hati jadi tak tenang.


Tak bisa dipungkiri, HP membawa banyak kemudahan. Tapi juga, tanpa kita sadari, menyuntikkan zat adiktif ke dalam keseharian kita. Maka, satu pertanyaan besar patut kita renungkan: apakah HP dengan semua fitur canggihnya sungguh membantu kita menikmati hidup, atau justru mendistraksi hidup kita?


Saya biasa lihat di gereja—sebelum misa dimulai—bukannya orang itu berdoa, menyiapkan hatinya untuk Tuhan, malah sibuk main hp. Ironisnya, pada saat misa berlangsung, ada juga yang tetap main hp. Kalau ditegur alasannya buka Puji Syukur atau Alkitab di HP, tapi di layar kelihatan tampilan WhatsApp atau Instagram.


Saya juga lihat orang-orang yang kalau mau makan, khususnya di tempat makan umum, yang dilakukan terlebih dulu adalah memotret atau memvideokan makanan dan minuman di atas meja, baru setelah itu berdoa. Malahan ada yang tidak berdoa lagi tapi langsung makan.


Begitu juga yang joging. Jogingnya baru berapa langkah, story-nya sudah berbatang-batang. Rasanya bukan joging yang utama, tapi bagaimana memperlihatkan joging itu ke dunia.


Kamar mandi pun tak steril. Banyak yang mandi atau buang air sambil tetap membawa HP. Bahkan kadang, bukan mandi yang jadi agenda utama, tapi nonton video-video acak atau berbalas pesan.


Nah, dengan gaya hidup yang seperti itu, apakah kita sungguh menikmati keseluruhan hidup kita? Kita ingin terus terhubung, terdokumentasi, terpublikasi, tapi kenyataannya kita justru melewati momen untuk menghayati aktivitas (baca: hidup) yang kita jalani.


Lalu kita merasa kosong karena kita lebih banyak terhubung dengan apa yang ada di luar diri kita dan tidak terhubung dengan apa yang ada di dalam diri kita. Bisa dibilang kita tidak menyadari keberadaan diri sendiri karena hubungan antara yang di luar dan di dalam tidak seimbang.


Tapi itu hanya asumsi abal-abal dari saya. Siapalah saya yang berhak menentukan bagaimana orang lain menikmati hidup? Bisa jadi bagi orang lain, HP sungguh membantunya terhubung dengan kedalaman dirinya. Bisa jadi saya yang terdistraksi untuk menilai hubungan orang lain dengan HP-nya dan saya kehilangan hubungan dengan diri sendiri. Ah, bisa juga!!


Komentar

Postingan Populer